Kekeringan melanda Kolombia, Perubahan Iklim Makin Mengancam
Kekeringan parah telah menyapu Kolombia, khususnya Bogota, dengan dampak yang signifikan bagi penduduk setempat. Dalam responsnya, Wali Kota Bogota, Carlos Fernando Galán, telah memohon kepada warganya untuk berhemat air, menyebut situasinya sebagai kritis. Lebih dari 10 juta penduduk ibu kota Kolombia tersebut mengalami penjatahan air karena kekeringan ekstrem yang dipicu oleh fenomena iklim El Niño. Perusahaan yang mengelola saluran air Bogota melaporkan penurunan permukaan air waduk terendah dalam beberapa dekade, dengan Waduk Chuza, yang menyediakan sekitar 70% air di Bogota, saat ini hanya memiliki kapasitas kurang dari 17%.
Pembatasan air telah diterapkan di Bogota, dengan wilayah sekitarnya dibagi menjadi sembilan zona yang bergiliran mengalami pemadaman air selama 24 jam. Meskipun demikian, rumah sakit dan sekolah dikecualikan dari pembatasan ini. Galán juga memberikan saran-saran kepada masyarakat untuk menghemat air, termasuk mandi maksimal empat menit. Presiden Kolombia, Gustavo Petro, telah memerintahkan perubahan substansial untuk melindungi sumber daya air di masa depan.
Kondisi kekeringan yang terjadi di Bogota tidak hanya disebabkan oleh fenomena alam, tetapi juga oleh konsumsi air yang tidak bertanggung jawab. Sejak Juni 2023, Kolombia mengalami kurangnya curah hujan berkepanjangan akibat El Niño, yang berdampak pada kurangnya pasokan air bagi ibu kota dan wilayah sekitarnya. Para ahli juga mengaitkan kekeringan ini dengan perubahan iklim global, urbanisasi yang cepat, dan infrastruktur yang buruk. Meskipun ada harapan bahwa fase El Niño akan segera berakhir, ilmuwan tetap mengingatkan bahwa langkah-langkah konkret untuk mengurangi emisi gas rumah kaca harus diambil secepat mungkin untuk mencegah dampak lebih lanjut dari perubahan iklim.
Kondisi kekeringan yang melanda Bogota menjadi momentum penting untuk menyoroti upaya yang dapat dilakukan untuk melambatkan perubahan iklim global. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah mengurangi emisi gas rumah kaca, yang merupakan penyebab utama pemanasan global. Pemerintah dapat mendorong kebijakan energi bersih dan berkelanjutan, seperti meningkatkan penggunaan energi terbarukan seperti energi surya dan angin, serta membatasi penggunaan bahan bakar fosil.
Selain itu, perubahan perilaku individu juga dapat berkontribusi secara signifikan. Mengurangi konsumsi air secara efisien, seperti yang diusulkan oleh Wali Kota Bogota, merupakan langkah yang bisa dilakukan setiap orang untuk mengurangi tekanan pada sumber daya air dan energi. Memilih transportasi yang ramah lingkungan, seperti berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan transportasi umum, juga dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca.
Pendidikan dan kesadaran lingkungan juga penting. Program penyuluhan dan kampanye publik dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya melindungi lingkungan dan mengurangi jejak karbon mereka. Selain itu, investasi dalam infrastruktur hijau, seperti taman kota dan atap hijau, dapat membantu menyerap karbon dioksida dan mengurangi efek panas perkotaan.
Kerjasama internasional juga krusial dalam menghadapi perubahan iklim. Negara-negara harus bekerja sama untuk mengadopsi kebijakan yang lebih ambisius dalam mengurangi emisi dan meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim yang tidak dapat dihindari. Ini termasuk pendanaan untuk negara-negara berkembang yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Dengan mengambil langkah-langkah ini, kita dapat membantu memperlambat laju perubahan iklim global dan melindungi lingkungan untuk generasi mendatang.