Gempa Bumi Bawean Sisakan Dampak Kerusakan Lingkungan
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengungkapkan temuan terkait Gempa Bawean yang terjadi minggu lalu. Salah satu temuannya adalah adanya sesar yang belum terpetakan dengan kredibel. Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menjelaskan bahwa gempa tersebut memiliki mekanisme pergerakan geser atau mendatar yang cukup mengejutkan. Dia juga menyoroti bahwa lokasi episenternya menunjukkan aktivitas sesar aktif di dasar Laut Jawa.
Gempa berskala M5,9 dan M5,3 telah mengguncang wilayah Jawa Timur, diikuti dengan gempa berkekuatan M6,5. Meskipun BMKG mencatat bahwa gempa-gempa tersebut tidak berpotensi tsunami, namun kerusakan bangunan terjadi di beberapa wilayah Jawa Timur. Gempa ketiga, yang memiliki guncangan luas, bahkan dirasakan hingga daerah Kalimantan.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerusakan yang diakibatkan oleh Gempa Bawean menyasar rumah warga dan gedung fasilitas publik di beberapa wilayah di provinsi Jawa Timur. Ribuan rumah mengalami kerusakan ringan hingga berat, dan jumlah pengungsi mencapai puluhan ribu jiwa.
Fakta-fakta terkait Gempa Bawean disampaikan oleh Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono. Dia menegaskan bahwa gempa tersebut bukanlah gempa Tuban, melainkan Gempa Bawean. Gempa ini bersifat merusak dan dampak guncangannya dirasakan dalam spektrum luas, bahkan hingga ke daerah-daerah jauh seperti Kalimantan dan Jawa Tengah.
Daryono juga menjelaskan bahwa Gempa Bawean berpusat di zona Sesar Tua Pola Meratus, menunjukkan bahwa jalur sesar di Laut Jawa masih aktif. Meskipun tergolong dalam zona kegempaan rendah, wilayah tersebut tetap memiliki potensi gempa yang perlu diwaspadai secara terus-menerus. Sulit untuk menganggap zona sesar tua sebagai zona yang stabil, karena masih ada bukti aktivitas gempa di zona-zona yang dianggap stabil.
Gempa Bawean, selain memberikan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan, juga memiliki dampak lingkungan yang patut diperhatikan. Kerusakan bangunan dan infrastruktur akibat gempa dapat menghasilkan limbah bangunan yang mencemari lingkungan sekitar. Debris dan material bangunan yang hancur dapat mencemari tanah, air, dan udara, mengancam keberlangsungan ekosistem di sekitarnya.
Selain itu, gempa yang terjadi di wilayah laut juga berpotensi menyebabkan kerusakan pada ekosistem bawah laut. Deformasi dasar laut yang mungkin terjadi akibat gempa dapat mengganggu kolom air laut dan habitat laut yang sensitif. Ini bisa mengakibatkan perubahan ekosistem laut dan bahkan kerusakan pada terumbu karang, yang merupakan habitat penting bagi keanekaragaman hayati laut.
Peningkatan aktivitas sesar juga dapat mempengaruhi kualitas air laut, mengganggu kehidupan biota laut, dan memicu perubahan ekosistem pesisir. Hal ini dapat berdampak negatif pada sektor perikanan dan pariwisata yang bergantung pada kelestarian lingkungan laut.
Selain itu, pengungsi dan kerusakan infrastruktur juga dapat menyebabkan peningkatan pencemaran lingkungan akibat penumpukan sampah dan limbah domestik. Perawatan pengungsi dalam kamp-kamp pengungsian juga dapat menyebabkan peningkatan konsumsi air dan energi, serta menghasilkan limbah yang dapat merusak lingkungan jika tidak dikelola dengan baik.
Oleh karena itu, dalam penanganan bencana gempa seperti Gempa Bawean, penting untuk tidak hanya memperhatikan dampak sosial dan ekonomi, tetapi juga dampaknya terhadap lingkungan. Langkah-langkah pemulihan pasca-bencana harus memperhatikan upaya untuk mengurangi dampak lingkungan, memulihkan ekosistem yang terganggu, dan membangun kembali infrastruktur dengan memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan.